SeLamat datangg...


welcome...Sugeng rawuh...verwelkomen..benvenuto...gratus...willkommen...hougei...bem-vindo...

Senin, 25 Agustus 2014

Maybe...

Sometimes I think that I am the suffering once
I have so many plans
I have so many wishes
I have so many dreams
I have so many...
Ahgr... It seems that anything goes wrong.
It seems that the road is too abrupt.
It seems that I've made a flaw
Could I take my chance again?
hhm...
But, as the time goes by..
the thought comes up "It should be easy for me!" Yaa... "should be"
"I am the lucky girl" or "am I too lucky?"
Yes, I am the lucky girl but I can't be grateful

Kamis, 21 Agustus 2014

Hambar



Jam di dinding masih menunjukan pukul 05.20, tapi udara di sini sudah sangat panas. Kipas angin yang ada di kamarku rasanya juga kurang berfungsi. Aku masih duduk termenung di dekat jendela kamarku, sedangkan di luar sana sudah banyak anak-anak asrama dan umat yang sudah menuju Gereja untuk misa harian. Memang, tidak seharusnya aku justru duduk di sini, tapi aku capek. Capek sekali, rasa-rasanya ingin aku akhiri semua ini. Aku mulai capek dengan kegiatan sehari-hariku disini; bangun pagi, mengurus anak-anak asrama, misa tiap pagi, mendoakan dan membrikan komuni untuk orang sakit yang jaraknya sangat jauh, jalan hancur, dan kebanyakan melewati hutan, perkebunan karet, dan sawit. Maaf Tuhan, aku capek! Rasa-rasanya semua sudah hambar. Ahgr, kenapa juga aku harus mengambil tantangan untuk tugas di sini? Dan, apakah ini memang jalan panggilanku, Tuhan? Dua bulan lagi aku akan menerima kaul kekal,apakah aku siap? 
            Lamunanku terhenti, di luar sana aku melihat seorang gadis kecil dengan neneknya, mungkin. Iya, aku sering melihat mereka berdua misa bersama. Tapi, pagi ini beberapa kali mereka berhenti. Beberapa kali juga sang nenek duduk dan mengurut kakinya yang sudah mulai keriput. Dan si gadis kecil itu juga membantu mengurut kaki neneknya.
***
            Aku dan nenek ku sudah siap berangkat ke sebuah SD swasta. Di SD itu sering diadakan ibadat untuk orang tua, dan aku suka mengikuti nenek ku ibadat di sana. Ibadat di SD itu biasanya dipimpin oleh seorang prodiakon atau suster. Pagi itu cuaca agak tidak mendukung; hujan-panas. Di tengah perjalanan, tiba-tiba nenekku mengajakku untuk berhenti. Aku hanya menurut saja, ternyata kaki nenekku sakit dan sudah bengkak-bengkak. Waktu itu aku masih kelas 2 SD, aku bingung apa yang harus aku lakukan, jadi aku hanya membantu mengurut kaki nenekku. Setelah beberapa saat, nenekku mengajakku melanjutkan perjalanan lagi. Tapi, tidak lama kemudian, beliau mengajak untuk istirahat lagi. Entah berapa kali kami harus berhenti dan nenekku mengurut kakinya yang bengkak.
            “Nek, aku capek. Hujan-panas, udah siang juga. Gak usah jadi ibadat aja, Nek. Pasti udah telat juga kog”. Aku memang capek, kasihan pada nenekku dan rasanya juga sudah malas pergi ibadat.
“Ini masih pagi, Ci. Lanjut perjalanan saja ya, telat ibadat juga tidak apa-apa”.  Lalu nenekku dengan susah payah berdiri. Ak tahu benar, nenekku tidak pernah mau tidak ikut ibadat dan menerima Tubuh Kristus. “Itu kekuatan abadi bagi kita, Ci”. Itu yang selalu nenek katakana padaku. “Tidak, Nek. Kita pulang saja. Aci kasihan liat nenek, kaki nenek juga sudah bengkak-bengkak. Nanti biar suster datang mendoakan dan memberi komuni ke nenek saja. Yuk pulang aja Nek, Aci juga gak enak badan ni kena hujan panas.” Nenekku melihatku, mungkin beliau kasihan padaku, lalu akhirnya kami pulang. Aku tahu, perjalanan pulang pun adalah sebuah perjuangan bagi nenekku. Beberapa kali kami masih berhenti, dan nenek mengurut kakinya yang semakin bengkak.
            “Kog sudah pulang, Ci?” tanya ibu ku yang melihat aku dan nenek sudah pulang. “Gak jadi ibadat, Bu. Kaki nenek sakit, bengkak-bengkak,” jawabku. “Nanti sore kita bawa ke dokter saja ya, Nek. Semoga nanti siang ada suster yang datang mengantar komuni, kan nenek biasanya selalu datang ibadat, kalau gak datang pasti nanti suster yang mengantar komuninya,” kata ibu ku.
            Hari sudah siang, tapi tidak ada suster atau prodiakon yang mengantar komuni untuk nenek. Minggu berikutnya nenek belum bisa pergi ibadat juga, dan aku pun juga tidak mau pergi ibadat atau ke Gereja tanpa nenek. Dan minggu itu juga tidak ada yang mengantar komuni. Hampir satu bulan berlalu, nenek belum bisa ikut ibadat, kakinya malah semakin parah. Dan selama satu bulan itu juga tidak ada yang mengantar komuni untuk nenek. “Mungkin suster dan prodiakon sedang sibuk, Ci” Itu yang selalu dikatakan ibuku.
            “Aci, kog kamu gak pernah ke Gereja?” tanya nenekku suatu hari. “Nenek juga tidak pernah ke Gereja,” jawabku santai. “Nenek kan sakit, kamu bisa ke Gereja bersama bapak-ibu kan?”kata Nenekku. “Ndak mau ah nek, maunya sama nenek,” jawabku.
            “Nek, kog gak ada suster yang ngantar komuni untuk nenek? Kemana aja ya susternya?” tanyaku. “Mungkin mereka sibuk,” jawab Nenek. “Tapi susternya kan gak cuma 1 nek, masak cuma datang ke sini, berdoa dan ngasih komuni ke nenek aja gak sempat?” tanyaku setengah protes. “Umat di paroki kita kan banyak, jadi tugas susternya juga banyak,” jawab Nenekku dengan sabar.
“Ah pasti mereka malas-malas aja”
“Hush, gak boleh kayak gitu, Aci!”
“Besok kalau sudah gedhe, Aci mau jadi suster, biar setiap hari bisa mendoakan dan mengantar hosti untuk nenek.”
“Loh kalau Aci sudah jadi suster, memangnya nenek masih hidup?”
“Masih lah Nek! Aku mau jadi suster yang ramah, rajin, pinter, cantik, suka menolong. Terus kalau jadi suster kan bisa pergi kemana-mana. Hahahaa…..” kataku sambil tertawa.
“Bener ya, Ci? Tapi kalau jadi suster itu juga harus bisa mengajar, harus sabar sama anak-anak, harus bisa masak juga. Aci bisa kah?”
“Bisaaaa semuaaaa lah, Nek! Aku pandai memasak, nyuci piring, ngepel lantai, aku juga suka main sama anak2 bayi,” kataku mantab.
“Aminn. Ini hari Minggu ya Ci, harinya Tuhan, jadi semua kata-katamu pada hari ini adalah doamu. Semoga terkabul ya, Ci,” kata Nenekku sambil mengurut kembali kakinya.
***
            Dua bulan telah berlalu. Nenek belum sembuh juga, malah semakin parah. Dan, pada akhirnya nenekku meninggal. Selama hampir dua bulan itu tidak ada suster atau prodiakon yang mengantar komuni untuk nenek. Mereka sibuk, ya mungkin sibuk. Entahlah aku tidak tahu, tapi yang kutahu adalah waktu itu aku emosi, marah, benci,kenapa hanya mendoakan dan mengantar komuni untuk orang sakit saja tidak bisa?? Sekali pun tidak sempat? Setelah kepergian nenekku, sempat aku malas ke gereja. Tapi bapak ibu ku menasaehati ku macam-macam, dan akhirnya aku mau kembali ke gereja. Bahkan aku menjadi cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja. Aku ikut menjadi misdinar (sampai kuliah aku masih tugas misdinar), ikut OMK, dan ikut menjadi pendamping PIA. Hingga akhirnya, selesai kuliah, keinginan dan doaku waktu kecil muncul lagi. Awalnya bapak dan ibu keberatan, maklum lah, aku anak bungsu dari 3 bersaudara. Tapi, pada akhirnya bapak ibu merestui niat ku itu dengan satu wejangan “Jadi lah suster yang baik, tapi hanya baik pun tidak cukup! Bertanggung jawablah pada pilihan dan panggilan hidupmu!”
***
            “Hayoo suster jangan melamun!”
            “Suster…ayo berangkat ke Gereja”
            “Susterrr….”
            Tiba-tiba sapaan anak-anak SD dan beberapa anak asrama yang hendak ke Gereja membuyarkan semua lamunanku, kegelisahan, kebimbanganku, dan kegalauanku.
            “Iyaa…duluan aja sana!” jawabku sambil tersenyum.
            Diluar sana matahari semakin terik, nenek dan gadis kecil tadi sudah tidak terlihat. Mungkin mereka sudah sampai di Gereja, atau pulang ke rumah? Entahlah, aku tidak tahu, tapi hati kecilku mengatakan bahwa nanti aku harus menjenguk nenek itu. Aku percaya ini memang jalanku dan dari awal ini memang pilihanku. Mungkin aku hanya capek saja, iya, semoga aku hanya capek saja!
            Jam di dinding menunjukkkan pukul 07.30. Ahh…seharusnya aku sudah siap-siap untuk misa yang kedua. “Tuhan, kuatkan dan teguhkan imanku dalam menjalani panggilan ini. Aku yang memilih jalan ini, sampai detik ini Engkau merestuinya, aku akan berjuang dan aku yakin Engkau memberkati segala perjunganku ini. Tambahlah bumbu-bumbu yang pantas bagiku agar panggilanku ini tidak menjadi hambar, Tuhan. Terimakasih, Tuhan.”