Hasil pumping di sekolah |
Melahirkan sang buah hati adalah
pengalaman luar biasa. Tak terkira betapa bahagia buah cinta perkawinan menjelma
dalam sosok bayi mungil, karunia tak terhingga dari Sang Pencipta. Menjadi ibu
dan memberikan Asi eksklusif adalah wujud cinta terdalam untuk mempersembahkan
yang terbaik. Namun ternyata tidaklah mudah untuk meneteskan Asi pertama kali.
Di situlah perjuangan dimulai.
Rabu (25/7/2018) pagi pukul 06.30,
bayi laki-laki pertama kami, Deogratias Putra Wicaksono lahir melalui persalinan normal. Penantian
menghadapi sakitnya kontraksi sejak 12 jam lalu akhirnya terbayar sudah. Meski
setiap bulan sudah kontrol rutin dan minum susu hamil, ternyata bobot bayi kami
2,280 kilogram dengan panjang 46 sentimeter. Kecil. Puji Tuhan, kondisinya
sehat dan normal.
Beberapa jam setelah diperiksa,
aku dipersatukan bersama bayiku di ruang perawatan. Menggendongnya pun aku
masih kaku. Bibirnya tidak selalu beradu dengan putingku. Setiap kali bibir
mungil itu mengenyot, entah karena tumpuan tangan yang tidak pas atau posisi
punggungku yang kurang menunduk, akhirnya terlepas. Berulang kali demikian. Hingga
buah hati kami menangis sekaligus tampak kelaparan.
Memang bayi yang baru lahir bisa
bertahan sekitar 3 hari tanpa asupan makanan dan minuman, tapi dengan kondisi
air susu yang juga belum keluar membuatku semakin stres dan bimbang. Praktis 24
jam pertama bayiku tidak minum apapun. Prihatin atas kondisi itu, sang perawat
di rumah sakit menyarankan untuk pemberian susu formula. Saya dan suami semakin
bimbang. Ingin rasanya segera memberikan asi, tapi ternyata asi belum keluar,
dan saya sudah merasa kasihan pada si kecil. Apalagi dia lahir dengan berat
badan yang agak kurang.
Saya sempat konsultasi dengan suster di Rumah Sakit.
Bahkan saya sudah mengisi form pemberian susu formula dan saya sudah memilih
susu formula apa yang akan saya berikan kepada si kecil. Tentunya perasaan
campur aduk dan tidak karuan yang ada dalam hati saya. Akhirnya setelah
berdiskusi dengan suami dan dengan keyakinan bahwa asi-ku bisa keluar, saya pun
tidak jadi menandatangani form pemberian susu formula tersebut.
Semalaman aku gelisah di rumah
sakit, tetapi aku tidak menyerah untuk memberikan putingku sebelah kiri pada
bibir bayiku. Meski berulang kali kembali terlepas, menjelang pulang asiku
sudah dapat keluar setetes demi setetes. Ada sedikit kelegaan, tapi juga
kekhawatiran lainnya muncul karena bobot bayiku susut 100 gram menjadi 2,1
kilogram.
Di rumah, sedikit demi sedikit
bayiku menyesap asi dari puting kiriku. Puting sebelah kanan masih belum dapat
dikenyot bayiku karena puting kananku tidak keluar atau mendelep (bahasa Jawa) masuk
ke dalam. Perjuangan berikutnya dimulai. Suami mencoba membelikan pelindung
puting susu. Setelah dicoba beberapa kali, ternyata susah juga dan tidak keluar
asinya pada puting sebelah kiri.
Deogratias Putra Wicaksono |
Kemudian, kami mencoba membeli
alat pemompa asi manual yang harganya mencapai Rp 700.000. Asi bisa keluar
tetapi puting tetap kembali tenggelam. Hari-hari terus berlalu, suami pun
mencoba membeli alat pemompa asi manual yang sederhana berbentuk seperti
terompet dan harganya Rp 15.000. Dengan pengandaian daya sedot yang lebih kuat,
alat pompa asi itu dipakai sekaligus berbarengan dengan pelindung puting susu.
Harapannya puting tersedot ke luar mengikuti bentuk pelindung puting. Upaya itu
sempat berhasil, tetapi hanya beberapa menit saja lalu kembali tenggelam.
Bahkan, nasihat orangtua agar
puting ditali menggunakan benang sudah kucoba. Rasanya perih sekali ketika
benang yang tipis itu melilit ujung puting. Belum lagi terpasang, benang itu
berulang kali juga terlepas. Ah, rupanya realita tidak selalu sejalan dengan
harapan. Inginnya memberi asi eksklusif dengan lancar dan berkualitas, tetapi
ada saja kendala-kendala teknis yang memeras emosi. “Kalau lihat orang lain
menyusui rasanya mudah dan gampang,” kataku iri dalam hati.
Segala upaya itu terus kucoba
tanpa putus asa meski tak jarang aku menangis galau. Namun, perlahan tetapi
pasti, puting sebelah kanan mulai dapat keluar dan bisa dihisap bayiku. Pada
usia satu bulan, ketika ditimbang di posyandu, Puji Tuhan bobotnya sudah naik
menjadi 2,8 kilogram. Rasa senang dan syukur segera terucap. Kemudian aku
semakin bersemangat memberikan asi eksklusif bagi bayiku. Setiap dua jam
sekali, baik siang maupun malam, selalui kususui bayiku. Bulan kedua, bobotnya
naik menjadi 3,6 kilogram, dan bulan ketiga sudah mencapai 5,4 kilogram.
Perjuanganku demi setetes asi
eksklusif sangat berliku. Seringkali membuat pilu, tetapi aku tidak ragu akan
khasiat dan manfaat asi eksklusif ini bagi perkembangan serta kesehatan bayiku.
Makanan bergizi, sayur, buah, protein, dan susu bagi ibu menyusui juga
kukonsumsi demi kualitas asiku. Kini meskipun aku sudah selesai cuti dan kembali
bekerja sebagai guru, asi bagi bayiku tidak pernah terputus. Setiap malam aku
selalu memompa asi dan kusimpan di dalam lemari es. Demikian juga di sekolah, saat
tidak mengajar, aku menepi ke ruang UKS untuk memompa asi dan kusimpan ke dalam
cooler bag.
Bahagia rasanya bisa memberikan
tetes demi tetes asi eksklusif bagi buah hatiku. Seribu hari pertama memberikan
asi adalah komitmenku dan suami agar tumbuh kembang bayi kami senantiasa
optimal, sehat, cerdas, serta berprestasi jadi kebanggaan keluarga juga bangsa.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar