SeLamat datangg...


welcome...Sugeng rawuh...verwelkomen..benvenuto...gratus...willkommen...hougei...bem-vindo...

Jumat, 17 Februari 2012

Selalu Masih ada Cinta....

Actually this is one of my writing which I send to one of the magazine. But it seem will be useless, so I decide to publish it here..Hahhaa.....



Bulan Februari ini saya mengikuti program KKN di daerah lereng Merapi. Jarak dari Merapi sampai di daerah KKN saya kira-kira hanya 8 km, masih ada beberapa kelompok yang berada lebih dekat dengan Merapi. Sebelum observasi saya sangat-sangat merasa senang dengan lokasi KKN di lereng Merapi ini, pasti pemandangannya sangatlah bagus (rada ra nyambung n ra mutu tenan ik) hahaa...



Tapi, observasi pertama sudah membuat saya dan beberapa teman saya agak syok berat. Jalan yang harus kami tempuh sangat-sangatlah mengerikan (rusak, berliku-liku dan naik-turun), dan ternyata dusun yang saya tempati berada persis di sebelah timur kali Gendol, dan yang membuat syok lagi adalah 2 RT dari dusun tersebut sudah habis. Dan tiba-tiba Pak Dukuh mengatakan bahwa kami akan tinggal di shelter. Oh Gosh….Setelah itu, kami diantar oleh Pak Dukuh menuju shelter yang kelak akan kami tempati. Jujur, saya benar-benar tidak bisa membayangkan untuk tinggal di sana, tapi itulah kenyataannya! Kami diberi 2 shelter untuk ditinggali, 1 shelter untuk laki-laki, dan 1 shelter lainnya untuk perempuan.

Hari H dimana kami harus memulai KKN pun datang, dan kami memang benar-benar harus tinggal di shelter. Permasalahan yang pertama dan utama muncul adalah tentang “air”. Hari pertama sama sekali tidak ada air, dan yang lebih menyedihkan adalah saat itu saya sedang menstruasi. Ingin rasanya langsung pulang kerumah saja, tapi hal itu pasti tidak boleh. Lalu kami mencari info untuk mendapatkan air, dan ternyata kami harus membeli air. Harga 1 bak (2500 liter) air adalah Rp 50.000,00. Setiap membeli air kami harus mencari join’an, karena 1 tangki air berisi 5000 liter. Untungnya, ada warga yang juga mau membeli air, dan jadilah kami membeli air. Setelah air datang, kami langsung mengisi ember-ember yang kami miliki. Sungguh, menyedihkan, setelah mengisi kira-kira 6 ember, airnya langsung habis. Kecewa, marah, emosi kami rasakan. Bayangkan saja, 50.000 hanya sekitar 6 ember?? Setelah kami bercerita dengan warga, mereka mengatakan kemungkinan pipa yang menuju shelter-shelter yang kosong kemungkinan belum ditutup, jadi airnya mengalir ke shelter-shelter lainnya yang sudah kosong. Astaga!

Dan, tiba-tiba ada warga shelter yang menawari kami untuk mandi ditempat beliau. Sungguh, baik sekali. Saya dan 4 teman saya mandi ditempat beliau. Dirumah, dengan enak dan gampangnya saya bisa mandi, sedangkan disini? Airpun harus beli, dan ibu ini bagai malaikat bagi kami. Walaupun air yang beliau miliki juga membeli, tapi beliau masih mau berbagi dengan kami.

Hampir selama 2 hari kami tidak memiliki air. Hari berikutnya kami menumpang mandi di rumah salah satu warga di lain dusun. Ibu ini mempunyai warung di depan shelter kami, dan ibu tersebut tau tentang masalah air yang kami hadapi, lalu menyuruh kami supaya mandi ditempatnya. Seperti ada malaikat air lagi bagi kami.

Hari berikutnya, kami bergotong royong untung memindahkan bak air ke dekat shelter kami supaya tidak ada air yang hilang secara tiba-tiba lagi. Setelah itu kami membersihkan bak, dan memesan air. Sungguh, seperti mendapatkan suatu berkat yang sangat-sangat melimpah saat tangki air datang ke shelter kami, dan kami melihat air yang melimpah dan bersih. Semua ini membuat saya sadar betapa berharganya setetes air itu.





Ada beberapa hal yang membuat saya benar-benar merasa iri dengan lokasi KKN teman-teman saya yang lain. Tempat mereka sangatlah nyaman, air melimpah, bahkan juga ada yang kamar mandi dalam. Astaga! Sedangkan kami? Tinggal di shelter, airpun harus membeli. Benar-benar merasa tidak adil sekali. Tapi, ya itulah kenyataan yang harus saya dan teman-teman saya hadapi. Kami selalu menghibur diri dengan mengatakan bahwa kami(yang tinggal di shelter) merupakan orang-orang terpilih, karena boleh merasakan susah-senangnya tinggal di shleter dan susahnya mencari air. Seiring berjalannya waktu, kami menyadari bahwa ternyata tinggal di shelter bukanlah hal yang menyedihkan sekali, kami merasa senang bisa merasakan tinggal di shelter.

Ada bermacam-macam kegiatan yang kami lakukan selama KKN, salah satunya adalah sensus warga. Kebetulan saat itu saya dan dua orang teman saya kebagian menyensus RT 3 yang berada di shelter. Dari sekitar 20an keluarga, kami hanya mendapat 4 data keluarga. Hal ini dikarenakan pada siang hari warga-warga yang berada di shelter pulang ke dusun untuk merumput. Hal yang paling membuatku trenyuh dan terharu adalah saat menyensus di rumah seorang kakek dan nenek. Mereka menceritakan tentang hidup mereka, suasana pada saat erupsi, dan rumah mereka yang sudah benar-benar sudah habis, tapi untunglah Yang Maha Kuasa masih menyelamatkan nyawa mereka. Nenek itu sangat-sangatlah ramah pada kami. Mereka membuatkan kami teh panas dan memberi kami makanan. Dalam keadaan seperti itupun mereka masih bisa dan masih mau berbagi dengan kami. Ingin rasanya menangis, merasa kasihan dengan hidup mereka dan juga menangisi diriku sendiri yang kadang kurang mensyukuri hidup ini.

Lewat dua rumah dari shelter tempat kami tinggal juga ada seorang kakek yang tinggal sendirian. Benar-benar sendirian. Tidak bisa membayangkan betapa sepinya hidup kakek itu. Ada juga nenek yang tinggal sendirian dan sudah sangat tua. Pernah kami bertanya tentang keluarganya, dan dia menjawab bahwa sejak erupsi anak dan cucunya belum pernah menengoknya. Kadang sering saya teringat nenek dan kakek saya, betapa beruntungnya saya masih mempunyai mereka, tapi saya justru kurang perhatian terhadap mereka.

Kira-kira 300 meter ke barat dari shelter tempat kami tinggal ada sebuah lahan yang luassss sekali. Beberapa kali saya dan beberapa teman berjalan-jalan kesana. Pemandangannya sangat indah. Dari situ kami bisa langsung melihat kemegahan Merapi, dan di daerah itu juga kami bisa mendapat sinyal. Tapi ternyata, daerah itu dulu bukanlah sebuah lahan kosong yang terkena lahar panas. Setelah beberapa hari jalan-jalan kesana, saya baru tahu kalau dulu itu adalah sebuah dusun. Ya sebuah dusun. Semuanya sudah habis diterjang lahar panas, hanya tinggal 1 bangunan putih yang tinggal temboknya, dan ternyata dulu itu adalah barak pengungsian. Sungguh, benar-benar tidak bisa membayangkan perasaan warga dusun itu. Dulu itu adalah tempat tinggal mereka, dan sekarang sudah menjadi lautan pasir dan batu.



Melihat realita ini, rasanya saya malu sendiri dengan hidup saya. Bahkan saya lupa kapan terakhir kali saya bersyukur dengan hidup yang saya dapatkan ini (bersyukur untuk kemudahan air yang saya dapatkan, untuk keluarga yang begitu baik, dan untuk segala yang saya miliki). Kapan terakhir kali saya berdoa? Bila ada masalah? Ya, mungkin terakhir kali saya berdoa adalah saat saya mempunya masalah. Berapa kali saya bilang kalau Tuhan tidak adil? Ya, berkali-kali saya mengatakan hal itu, sampai tak terhitung lagi. Dan...refleksi KKN dari hari pertama sampai terakhir selalu saya cantumkan “bersyukur dan selalu bersyukur”. Ya, bersyukur karena masih selalu ada cinta untuk ku; cinta dari warga shelter, cinta dari Tuhan, cinta dari teman-teman, dan cinta dari keluarga. Terimakasih untuk cinta yang saya dapatkan. ^^

Tidak ada komentar: