SeLamat datangg...


welcome...Sugeng rawuh...verwelkomen..benvenuto...gratus...willkommen...hougei...bem-vindo...

Jumat, 29 Oktober 2021

Youth Pledge Day

 Hari Kamis (28 Oktober 2021), kami memperingati hari sumpah pemuda. Karena masih pandemi, jadi kegiatan ini dilaksanakan secara online. Walaupun secara online, kami berusaha tidak mengurangi esensi dan makna dari sumpah pemuda ini sehingga anak-anak juga dapat menikmati, mengerti dan menghargai ragam budaya Indonesia. Acara yang apik ini di koordinasi oleh Ms. Ari. Sebagai koordinator, Ms Ari selalu menyampaikan detail-detail kegiatan kepada kami dan juga mengajak kami untuk latihan sehingga saat hari H acara berjalan dengan lancar. 

Satu minggu sebelum hari H, anak-anak ada tugas membuat video dengan 3 bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin dan juga Bahasa Indonesia. Hal ini supaya anak-anak tetap menguasai Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan juga fasih dalam berbahasa asing. Saat penutupan acara, ada pengumuman tentang video terbaik dari tiap-tiap level. 

Semoga aku, kamu, dan kita semua tetap dan selalu bangga dengan bangsa Indonesia. 

Selamat hari Sumpah Pemuda!








Rabu, 27 Oktober 2021

Autobiografi

Autobiografi

Namaku Lucia Astri Noviyanti. Aku lahir pada tanggal 26 November 1990. Masa sekolah dan kuliah kuselesaikan di Yogyakarta. Aku terlahir dari keluarga sederhana; Bapak seorang guru di sebuah SMP di sekitar pegunungan Menoreh dan Ibu seorang guru SD di dekat Kali Progo. Aku dan kedua kakakku tidak bersekolah dimana Ibu dan Bapak bekerja, “supaya mandiri” begitu kata mereka.

 Aku menghabiskan masa SMA di SMA N 1 Godean. SMA yang lumayan jauh dari rumah. Perjalanan ke sekolah aku tempuh dengan sepeda lalu naik bus. Aku sangat jarang minta diantar jemput oleh Bapak Ibu, karena mereka juga sibuk bekerja.

Setelah tamat SMA, aku melanjutkan Pendidikan di Universitas Sanata Dharma. Aku mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Jurusan yang sama dengan kedua kakakku. Kakak pertama angkatan 2005, kakak kedua angkatan 2007 dan aku angkatan 2008. Kadang kami bisa bertemu saat di kampus. Ada banyak keuntungan kuliah di jurusan yang sama dengan kedua kakakku. Aku tidak perlu membeli kamus dan buku-buku kuliah. Terkadang sudah ada jawaban di buku-buku kakakku. Hal tersebut membuatku berada di zona yang sangat nyaman tapi tanpa kusadari hal tersebut justru merugikanku. Aku tidak pernah mencoba atau belajar dengan maksimal, aku selalu mengandalkan buku-buku milik kakakku. Dan aku juga terlalu santai saat kuliah. Hal tersebut membuat nilai-nilaiku sama sekali tidak memuaskan.

Sekarang aku sadar, seharusnya dulu aku tidak terlalu terlena dengan keberadaan kedua kakakku yang berada di jurusan yang sama denganku, seharusnya aku segera meninggalkan zona nyamanku. Seharusnya aku bisa memaksimalkan potensi yang ada pada diriku. Zona nyaman memang benar-benar sangat nyaman tetapi zona nyaman bisa menjadi boomerang bagi kita sendiri.

Di pertengahan tahun 2012, saat beberapa temanku sudah menyelesaikan kuliah dan beberapa sudah bekerja, aku masih saja santai dengan skripsiku. Bahkan dipertengahan tahun itu, aku sedang sangat bersemangat untuk mengikuti kegiatan gereja. Selama kurang lebih 2 minggu, aku dan teman-teman dari Yogyakarta dan Semarang mengikuti Indonesian Youth Day. Kegiatan yang pertama kali dilaksanan di tahun 2012 tersebut diikuti oleh perwakilan orang muda Katolik dari seluruh Indonesia. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Sintang dan Sanggau, Kalimantan Barat. Kami belajar banyak hal dan kami juga belajar dari banyak orang. Kami menyadari bahwa Indonesia sangat luas dan sangat kaya dengan berbagai macam adat-istiadat yang sangat menarik dan juga unik. Berproses bersama teman-teman dari Yogyakarta dan Semarang untuk sampai pada acara tersebut dan juga berproses bersama teman-teman dari seluruh Indonesia adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Mungkin mitos bahwa, “kalau pernah minum air dari sungai Kapuas, maka kamu akan kembali lagi kesana (Kalimantan)” adalah benar adanya. Aku kembali lagi ke Sanggau pada bulan Juli 2013, satu bulan setelah dinyatakan lulus ujian pendadaran. Kali ini bukan untuk kegitan gereja, tetapi untuk bekerja. Ya! Mulai bulan Juli 2013, aku bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di SMP Yos Sudarso Parindu, Bodok, Sanggau, Kalimantan Barat.

Awalnya Bapak Ibuku tidak mengijinkanku, terutama Ibuku. Masih kuingat, sore itu saat hujan deras dan setelah melalui pembicaraan yang panjang bahwa aku sudah diterima bekerja di Sanggau, akhirnya Ibuku mengatakan, “yang penting hati-hati” kata Ibuku hampir menangis. Bapak dengan bijaksana bilang, “kalau kamu sudah mantap, ya monggo. Asalkan hati-hati dan bertanggung jawab dengan keputusanmu”. Bapak tidak pernah melarangku melakukan apapun, asalkan aku bertanggung jawab dengan pilihanku.

Kembali ke Sanggau, seperti kembali ke rumah walaupun sebelumnya aku hanya disana selama kurang lebih 2 minggu. Aku mempunyai saudara yang tinggal di Pahauman, tapi itu sangat jauh sekali dari Sanggau dan kalau mau kesana harus ditempuh dengan jalan yang luar biasa jeleknya. Di Sanggau, aku tinggal di rumah salah satu guru di SMP Yos Sudarso, Ibu Thres namanya. Beliau sangat baik, benar-benar seperti Ibu bagiku. Beliau mempunyai kos-kosan untuk anak-anak SMP Yos Sudarso. Dengan tinggal disitu, membuatku cukup cepat beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru bagiku.

Tinggal di tempat yang benar-benar jauh dari rumah, jauh dari keluarga dan akses transportasi yang terbatas membuatku lebih bisa mensyukuri hidup ini. Pernah sekali waktu aku masih di bus menuju Sanggau, waktu itu sudah hampir jam 12 malam dan tiba-tiba bus yang aku tumpangi ternyata tidak jadi sampai Sanggau dan beberapa dari kami diturunkan di tengah jalan dengan pemandangan kanan kiri adalah pohon sawit. Pernah juga, malam-malam jatuh dari motor saat melewati jalan yang luar biasa jeleknya, puji Tuhan tidak ada truk pembawa sawit di belakangku dan saat itu juga ada warga sekitar yang langsung menolongku. Aku sangat bersyukur bahwa aku berada di antara orang-orang asing yang begitu baik padaku. Dan aku yakin bahwa semua itu tidak terlepas dari kedua orang tua ku yang selalu ramah dan welcome kepada setiap orang yang datang ke rumah. Kenyataan bahwa aku selalu diterima oleh mereka, aku bisa bertahan hidup dan aku dikelilingi orang-orang baik adalah anugrah yang luar biasa. Mungkin kata Paulo Coelho tentang hukum keramahtamahan adalah benar adanya.

Satu tahun disana menyadarkanku bahwa kita tidak perlu kawatir berada ditempat yang baru selama kita bertindak sopan dan kita masih punya mulut untuk bertanya dan berbicara.

Tahun 2014 aku meninggalkan SMP Yos Sudarso dan Sanggau. Aku Kembali ke Yogyakarta dan aku berusaha mencari pekerjaan di Yogyakarta. Hampir 6 bulan aku belum mendapatkan pekerjaan dan memang benar bahwa “bekerja itu lelah tetapi mencari pekerjaan itu lebih melelahkan”.  

Tahun 2015 aku mencoba hal baru di bidang perhotelan. Ya, aku pindah ke Jakarta dan aku bekerja sebagai HR Admin di Corporate Hotel Santika. Aku harus kembali beradaptasi dengan segala sesuatu yang baru lagi. Kata orang, Jakarta itu keras! Benar sekali. Di Jakarta aku tidak hanya belajar tentang hal baru tentang perhotelan, tapi aku juga belajar bahwa harus bisa membagi waktu dengan baik, bisa lebih tegas terhadap diri sendiri dan orang lain, lebih mandiri, lebih mau belajar hal baru dan lebih menghargai waktu.

Di Jakarta aku juga semakin menyadari bahwa ada banyak orang baik di sekitarku, tapi aku tetap harus berhati-hati. Aku pernah kehilangan uang dan laptop kantor dan justru aku sendiri yang dituduh menggunakan uang dan mengambil laptop tersebut. Setelah diusut selama beberapa minggu, setelah hampir selalu pulang malam karena introgasi yang sangat melelahkan dan penuh air mata, akhirnya pencurinya tertangkap. Pencurinya adalah Pak Satpam yang amat sangat ramah sekali. Aku dan teman-teman sama sekali tidak menyangka. Hal ini mengingatkanku bahwa kita memang benar-benar tidak bisa judge a book by its cover.

Tahun 2017 aku pindah ke Purwokerto, dan kembali pada passion ku. Aku kembali mengajar di SD 3 Bahasa Putera Harapan, salah satu SD yang terkenal di Purwokerto. Aku harus beradaptasi lagi dengan lingkungan yang baru, orang-orang yang baru dan pekerjaan yang baru.

Dan sekarang, dengan adanya pandemi, aku dan semua orang harus beradaptasi lagi. Beradaptasi dengan cara hidup dan juga dengan pekerjaan.


Hidup memang benar-benar tentang sebuah perjalanan, pilihan dan adaptasi.

Dengan beradaptasi kita bisa tetap hidup.

Saat masih hidup kita bisa membuat pilihan yang juga harus bisa kita pertanggungjawabkan.

Kita juga bisa membuat pilihan untuk tetap di zona nyaman atau keluar dari zona nyaman.

Saat masih hidup kita bisa melakukan perjalanan yang membuat kita lebih mensyukuri hidup ini, dan menyadarkan kita bahwa dunia itu sangat indah dan luas.

 

 

Selasa, 19 Oktober 2021

Nilai Sempurna Achi

 

Achi berjalan sendirian dengan sangat lesu dan sedih. Sinar matahari yang menyengat, bekal air minum dan uang saku yang habis rasanya menambah kesedihannya. Seragam merah dan putih yang ia kenakan juga berantakan. Teman-teman yang lain sudah pulang duluan.
            Tadi, sebelum pulang, Bu Sri memanggil Achi untuk datang ke ruang guru.

“Kamu ada masalah apa, Achi? Mungkin kamu bisa cerita ke Ibu.” kata Ibu Sri. Dengan muka bingung, Achi menggelengkan kepala. Bingung, kenapa tiba-tiba Ibu Sri menanyakan hal tersebut. Lalu Bu Sri memberikan selembar kertas, hasil penilaian pelajaran Matematika. Angka 30 menghiasi bagian atas kertas tersebut. Achi tidak tahu, harus berkata apa dan dia juga tidak tahu harus menjelaskan apa kepada Ibunya.

Sesampainya di rumah, Achi langsung memberikan kertas tersebut kepada Ibunya.

“Maaf bu!” kata Achi lesu. Ibu langsung mengambil kertas tersebut, dengan muka kaget Ibu langsung bertanya, “Ini kenapa nilai kamu seperti ini Achi? Bisa cerita ke Ibu?”

“Aku ngga tau, Bu. Maaf.” jawab Achi singkat.

“Coba Ibu lihat buku latihan Matematika kamu.” kata Ibu. Achi langsung mengambil buku latihan Matematika yang ada di tas lalu menyerahkan kepada Ibunya. Ibu melihat semua hasil pekerjaan di buku tersebut.

“Ini, kamu bisa mengerjakan semua latihan ini bahkan tulisan sangat rapi, tidak ada bekas coret-coretannya. Lalu kenapa kamu tidak bisa mengerjakan saat penilaian?” tanya Ibu dengan penasaran. “Rasanya baru kali ini kamu mendapat nilai seperti ini? Kemarin-kemarin juga tidak ada laporan apa=apa dari Bu Guru.” tambah Ibu.
            Masih diam, Achi mengambil satu buku lagi dari dalam tasnya. Tanpa berkata apa-apa, Achi menyerahkan buku tersebut ke Ibunya.

“Maaf bu, aku mau mengaku dosa. Achi udah nggak jujur Bu. Jadi beberapa waktu yang lalu Achi menemukan buku Kak Nadine. Setelah aku lihat-lihat ternyata soal-soalnya sama dengan soal-soal yang selama ini Bu Guru berikan padaku. Jadi setelah itu, Achi selalu mencontek dari buku Kak Nadine ini dan Achi ngga pernah belajar, ternyata Achi nggak bisa ngerjain soal pada saat penilaian. Maaf bu!” kata Achi dengan lesu.

“Achi, Ibu kecewa lho sama kamu. Kamu nggak jujur sama diri kamu sendiri. Kamu bisa mengerjakan soal-soal latihan itu tanpa melihat buku kayak kamu. Kalau kamu mencontek saat mengerjakan latihan, kamu pasti akan kesusahan saat mengerjakan soal penilaian. Kalau nilai kamu seperti ini, siapa yang rugi? Kamu sendiri kan?” kata Ibu.

“Iya bu. Maaf. Achi janji nggak akan melakukan hal seperti ini lagi!” jawa Achi.

“Ingat ya Achi, kalau kamu nggak jujur, yang rugi adalah kamu sendiri.” kata Ibu.

Sejak saat kejadian itu, Achi selalu bertindak jujur. Dia tidak pernah mencontek buku Kak Nadine lagi. Dia mengerjakan sendiri soal-soal yang diberikan oleh Bu Guru. Achi selalu ingat akan kata-kata Ibunya bahwa,”kalau kamu tidak jujur, yang rugi adalah kamu sendiri.”

Siang itu Achi berjalan dengan santai. Siang yang sama seperti beberapa hari sebelumnya, dengan bekal air minum dan uang saku yang habis juga, tapi hatinya tenang. Dilihatnya hasil lembar penilaian pelajaran Matematikanya. Nilai 75 menghiasi bagian atas kertas tersebut. Nilai yang jauh dari kata sempurna, tapi dengan sempurna dia bertindak jujur.

 


 

Senin, 18 Oktober 2021

Refleksi PD 2

Hari Sabtu, 16 Oktober 2021, ada PD ke 2 yang dilaksakan di gedung Secondary. 
Materi yang kedua adalah tentang Refleksi Quarter 1 yang dibawakan oleh Ibu Capri. 

Ada 1 pertanyaan refleksi yang harus kami jawab, yaitu tentang perubahan yang terjadi setelah 3 bulan ini? Tentunya ada banyak sekali perubahan dalam 3 bulan ini. Tahun ini adalah tahun pertama kami menggunakan Pearson, tahun pertama sebagai sekolah SPK, dan tahun ini, masih pembelajaran online. 

Jadi, apa perubahan dalam 3 bulan ini? 

Tahun ini, penggunaan buku cetak lebih flexible karena sudah ada e-book yang bisa saya buka setiap saat. Tahun ini, saya juga memaksakan diri untuk belajar dan menggunakan aplikasi-aplikasi permainan yang menarik supaya anak-anak tidak bosan. Tahun ajaran sebelumnya (juga sudah online), alur dari kegiatan belajar hampir selalu sama. Kami menggunakan buku yang sama dengan tahun sebelumnya. Buku harus ada saat saya mengajar, karena memang tidak ada e-book. Aplikasi yang saya gunakan juga seadanya, bahkan jarang menggunakan aplikasi-aplikasi permainan dsb. 

Selain itu, 3 bulan ini kami juga sudah terbiasa dengan 10 menit reading time. Untuk bahan bacaan di kelas 1, saya merasa sangat terbantu dengan adanya ActiveLearn. Setiap reading time saya selalu menggunakan cerita-cerita yang ada di platform tersebut. Platform tersebut sangat membantu karena kita bisa memilih bacaan untuk tiap level. Untuk kelas 1, masih full of pictures yang sangat menarik, kata-kata simple dan ada beberapa soal yang berhubungan dengan bacaan tersebut. Tahun sebelumnya (saat sudah online), kami tidak ada reading time, jadi ketika pelajaran 1, langsung masuk ke materi. Tetapi, saat sebelum online, kami juga ada reading time. 

Tahun ini, kami juga dituntut untuk lebih bisa beradaptasi dengan banyaknya perubahan yang ada. Mulai dari jam kerja sampai dengan acara kesiswaan. Kami seperti menjadi EO, sampai sempat terpikir, "Kenapa sekolah tidak hire orang untuk menjadi EO saja, lalu para guru jadi pelaksananya?" Karena sekarang ini menyiapkan suatu kegiatan benar-benar membutuhkan proses yang panjang, harus benar-benar mendetail dan kadang menguras emosi. Tapi seiring berjalannya waktu selama 3 bulan ini, rasanya kami bisa menyesuaikan diri, kami bisa beradaptasi. Dan semoga kami bisa survive :) :)
Kami, eh saya jadi lebih menyadari bahwa kerjasama tim itu sangat penting. Dan, tidak ada salahnya memberi masukan kepada teman. 

Tahun ini kami juga dituntun untuk bisa lebih mandiri dan kreatif. Ada banyak hal yang bisa kami pelajari. Dulu, kalau tidak tahu atau tidak bisa, saya bisa bertanya ke teman terlebih dahulu, kalau sama-sama tidak bisa, kami googling. Kalau sekarang, saya tahu dan sadar bahwa semua temna-teman juga sibuk, jadi saya memaksakan diri saya sendiri untuk belajar/mencari informasi secara mandiri. Tahun ini saya juga belajar cara membagi dan manage waktu dengan lebih baik, ya walaupun rasanya saya belum bisa membagi waktu dengan baik sih. 

Tahun ini, saya sudah terbiasa dengan adanya morning briefing yang dilaksakan setiap jam 7 dan diikuti oleh semua guru dan karyawan. Saya rasa morning briefing ini membantu saya untuk lebih mengenal satu sama lain dan juga mengetahui informasi-informasi yang ada di sekolah. Setiap siang juga diadakan closing briefing. Closing briefing ini juga sangat membantu saya mengupdate tugas-tugas/kegiatan sekolah yang ada. Awalnya, saya tidak begitu suka dengan adanya morning briefing ini, karena setiap pagi rasanya tergesa-gesa harus segera join zoom dan setiap sore seringnya pulangnya tidak on time. Tapi seiring berjalannya waktu dan proses selama 3 bulan ini, rasanya tidak ada masalah dengan adanya morning briefing dan closing briefing karena dua kegiatan tersebut sangat membantu saya untuk update informasi sekolah. 


Senin, 04 Oktober 2021

135 Detik untuk Delia

 

135 Detik Untuk Delia

 

              Delia, gadis cantik dan berprestasi kelas 5 SD Taruna Bakti. Dia mempunyai banyak teman dan prestasi yang cukup membanggakan. Beberapa kali dia mewakili sekolahnya untuk lomba lari, dan hasilnya? Pasti dia mendapat juara pertama.

              Prestasi akademik Delia juga memuaskan. Dia selalu berada di peringkat 10 besar. Teman, keluarga dan guru sangat bangga pada Delia.

              Akhir bulan ini Delia akan mengikuti lomba lari tingkat Provinsi jadi Delia benar-benar harus rajin berlatih. Selain itu Delia juga harus disiplin dalam membagi waktu, waktu untuk belajar, berlatih lari, bermain bersama teman-teman dan waktu bersama keluarga.

              “Delia, nanti sore kamu bisa ikut mengerjakan tugas Matematika?” tanya Tasya sebelum pulang sekolah.

              “Hmm...nanti sore ya?” tanya Delia dengan ragu.

              “Iya, habis itu teman-teman berencana pergi ke kolam renang. Ikut yuk!” kata Tasya lagi. ‘Waah ke kolam renang sama teman-teman? Udah lama banget nih ngga renang bareng teman-teman. Tapi nanti sore ada latihan lari lagi. Ahh tapi latihan lari masih bisa besok lagi kok’ batin Delia dalam hati.

              “Ok, Tasya. Nanti aku ikut mengerjakan tugas dan ke kolam renang ya!” jawab Delia.

Sore itu Delia, Tasya dan teman-temannya mengerjakan tugas Matematika lalu berenang bersama.

              “Kamu akhir bulan ini ada lomba lari ya?” tanya Rara tiba-tiba.

              “Iya ni. Semoga menang lagi!” jawab Delia.

              “Kamu latihan hari apa aja?” tanya Rara lagi.

              “Hmm...sebisaku aja sih, kebetulan Ayah ku sendiri yang menjadi pelatihku, jadi yaa sebisaku. Sebenarnya hari ini latihan, tapi aku bilang ke Ayah kalau kita mau mengerjakan tugas, jadi ngga latihan deh!”jawab Delia.

              “Lhaa..Hari ini seharusnya kamu latihan ya? Kok kamu ngga bilang? Kamu ngga jadi latihan gara-gara aku ajak mengerjakan tugas Matematika ya?” tanya Tasya.

              “Enggak kok. Santai aja.” jawab Delia.

              ***

              “Kok baru pulang?” tanya Ayah Delia.

              “Iya, baru selesai, Yah.” jawab Delia sambil membereskan barang-barangnya.

              “Delia, jangan lupa ya. Akhir bulan kamu ada lomba di Provinsi. Kamu harus berlatih lebih rajin dan giat ya.” kata Ayah Delia mengingatkannya.

              “Iya, Yah. Aku ingat.” jawab Delia sambil lalu. Dalam hati, Delia berjanji bahwa besok dia akan mulai latihan untuk lomba lari.

              Tapi ternyata Delia terlalu asyik bermain dengan teman-temannya. Bermain dengan mereka lebih menyenangkan daripada latihan lari sendirian. Delia selalu menunda untuk mulai latihan lari. Dalam satu bulan dia hanya berlatih 2 kali, itupun hanya sebentar karena dia sudah tidak sabar untuk bermain dengan teman-temannya.
              “Ayah...itu lomba lari 100 meter kan? Ah kecil yah, aku hanya membutuhkan 30 detik untuk berlari sejauh itu.” jawab Delia ketika Ayahnya mengingatkan untuk berlatih.

              “Delia, ini perlombaan lho. Ini bukan lari dengan teman-teman sekolah kamu. Semua peserta lomba adalah pelari lho.” kata Ayah.

              “Iya, Ayah. Besok siang aku akan berlatih!” jawab Delia.

              Dua hari sebelum perlombaan, Delia fokus berlatih. Berlari 100 meter rasanya sangat jauh baginya, bahkan belum ada 100 meter nafasnya sudah terengah-engah.

              “Yaampun, kok capek banget ya yah?”kata Delia sambil melihat stopwatch yang dibawa Ayahnya, “Hah...60 detik??” tanya Delia tidak percaya.
              “Iya! 60 detik.” jawab Ayahnya. Delia mulai panik, kenapa dia jadi lambat dan juga susah mengatur nafas? Selama ini, lari 100 meter adalah hal yang sangat mudah baginya. Sore itu dia berlatih terlalu keras, dan tiba-tiba, “aduhhh….Ayahh! Tolong!” teriak Delia. Ternyata kakinya terkilir. Untuk jalan saja susah, bagaimana dia mau ikut lomba?

              “Udah, ngga usah ikut lomba! Kamu ngga bisa lari dalam keadaan kayak gini!” kata Ayahnya.

              “Ngga! Aku akan tetap ikut lomba, Yah!” jawab Delia sambil meringis kesakitan.

              Hari perlombaan pun tiba. Delia sudah siap, siap untuk segala kemungkinan yang terjadi. Peluit tanda lomba lari sudah dibunyikan. Delia, dengan sekuat tenaga berlari, kakinya masih terkilir, justru lebih parah karena dia paksakan untuk terus berlari. Benar kata Ayahnya, semua peserta lomba ini adalah pelari.

              Delia masih ada di tengah lapangan ketika dia melihat beberapa lawan lomba nya sudah ada di garis finish. “Yang penting sampai garis finish!” kata Delia dalam hati.

              Dengan susah payah, akhirnya Delia sampai ke garis finish dalam waktu 135 detik. Dia sadar, bahwa dia tidak akan memenangkan perlombaan ini.

              “Maaf ya, Ayah.” kata Delia sambil memeluk Ayahnya, tak terasa air mata membasahi wajahnya yang sudah penuh dengan keringat.
              “Ngga apa-apa, Delia. Yang penting kamu sudah berusaha dan kamu mendapatkan pembelajaran dari kejadian ini. Selama ini kamu sudah menjadi yang terbaik diantara teman-teman kamu, tapi kamu tetap harus berlatih secara disiplin dan kamu harus bisa membagi waktu kamu dengan baik.” jawab Ayah.
              “Iya, Ayah!” jawab Delia. Lalu mereka berdua meninggalkan arena lomba lari tersebut.