Jam di dinding masih menunjukan pukul
05.20, tapi udara di sini sudah sangat panas. Kipas angin yang ada di kamarku
rasanya juga kurang berfungsi. Aku masih duduk termenung di dekat jendela
kamarku, sedangkan di luar sana sudah banyak anak-anak asrama dan umat yang
sudah menuju Gereja untuk misa harian. Memang, tidak seharusnya aku justru
duduk di sini, tapi aku capek. Capek sekali, rasa-rasanya ingin aku akhiri
semua ini. Aku mulai capek dengan kegiatan sehari-hariku disini; bangun pagi,
mengurus anak-anak asrama, misa tiap pagi, mendoakan dan membrikan komuni untuk
orang sakit yang jaraknya sangat jauh, jalan hancur, dan kebanyakan melewati
hutan, perkebunan karet, dan sawit. Maaf Tuhan, aku capek! Rasa-rasanya semua
sudah hambar. Ahgr, kenapa juga aku harus mengambil tantangan untuk tugas di
sini? Dan, apakah ini memang jalan panggilanku, Tuhan? Dua bulan lagi aku akan
menerima kaul kekal,apakah aku siap?
Lamunanku
terhenti, di luar sana aku melihat seorang gadis kecil dengan neneknya,
mungkin. Iya, aku sering melihat mereka berdua misa bersama. Tapi, pagi ini
beberapa kali mereka berhenti. Beberapa kali juga sang nenek duduk dan mengurut
kakinya yang sudah mulai keriput. Dan si gadis kecil itu juga membantu mengurut
kaki neneknya.
***
Aku
dan nenek ku sudah siap berangkat ke sebuah SD swasta. Di SD itu sering
diadakan ibadat untuk orang tua, dan aku suka mengikuti nenek ku ibadat di
sana. Ibadat di SD itu biasanya dipimpin oleh seorang prodiakon atau suster.
Pagi itu cuaca agak tidak mendukung; hujan-panas. Di tengah perjalanan,
tiba-tiba nenekku mengajakku untuk berhenti. Aku hanya menurut saja, ternyata
kaki nenekku sakit dan sudah bengkak-bengkak. Waktu itu aku masih kelas 2 SD,
aku bingung apa yang harus aku lakukan, jadi aku hanya membantu mengurut kaki
nenekku. Setelah beberapa saat, nenekku mengajakku melanjutkan perjalanan lagi.
Tapi, tidak lama kemudian, beliau mengajak untuk istirahat lagi. Entah berapa
kali kami harus berhenti dan nenekku mengurut kakinya yang bengkak.
“Nek,
aku capek. Hujan-panas, udah siang juga. Gak usah jadi ibadat aja, Nek. Pasti
udah telat juga kog”. Aku memang capek, kasihan pada nenekku dan rasanya juga sudah
malas pergi ibadat.
“Ini masih pagi, Ci. Lanjut perjalanan
saja ya, telat ibadat juga tidak apa-apa”. Lalu nenekku dengan susah payah berdiri. Ak
tahu benar, nenekku tidak pernah mau tidak ikut ibadat dan menerima Tubuh
Kristus. “Itu kekuatan abadi bagi kita, Ci”. Itu yang selalu nenek katakana
padaku. “Tidak, Nek. Kita pulang saja. Aci kasihan liat nenek, kaki nenek juga
sudah bengkak-bengkak. Nanti biar suster datang mendoakan dan memberi komuni ke
nenek saja. Yuk pulang aja Nek, Aci juga gak enak badan ni kena hujan panas.”
Nenekku melihatku, mungkin beliau kasihan padaku, lalu akhirnya kami pulang. Aku
tahu, perjalanan pulang pun adalah sebuah perjuangan bagi nenekku. Beberapa
kali kami masih berhenti, dan nenek mengurut kakinya yang semakin bengkak.
“Kog
sudah pulang, Ci?” tanya ibu ku yang melihat aku dan nenek sudah pulang. “Gak
jadi ibadat, Bu. Kaki nenek sakit, bengkak-bengkak,” jawabku. “Nanti sore kita
bawa ke dokter saja ya, Nek. Semoga nanti siang ada suster yang datang
mengantar komuni, kan nenek biasanya selalu datang ibadat, kalau gak datang
pasti nanti suster yang mengantar komuninya,” kata ibu ku.
Hari
sudah siang, tapi tidak ada suster atau prodiakon yang mengantar komuni untuk
nenek. Minggu berikutnya nenek belum bisa pergi ibadat juga, dan aku pun juga
tidak mau pergi ibadat atau ke Gereja tanpa nenek. Dan minggu itu juga tidak
ada yang mengantar komuni. Hampir satu bulan berlalu, nenek belum bisa ikut
ibadat, kakinya malah semakin parah. Dan selama satu bulan itu juga tidak ada
yang mengantar komuni untuk nenek. “Mungkin suster dan prodiakon sedang sibuk,
Ci” Itu yang selalu dikatakan ibuku.
“Aci,
kog kamu gak pernah ke Gereja?” tanya nenekku suatu hari. “Nenek juga tidak
pernah ke Gereja,” jawabku santai. “Nenek kan sakit, kamu bisa ke Gereja
bersama bapak-ibu kan?”kata Nenekku. “Ndak mau ah nek, maunya sama nenek,”
jawabku.
“Nek,
kog gak ada suster yang ngantar komuni untuk nenek? Kemana aja ya susternya?”
tanyaku. “Mungkin mereka sibuk,” jawab Nenek. “Tapi susternya kan gak cuma 1
nek, masak cuma datang ke sini, berdoa dan ngasih komuni ke nenek aja gak
sempat?” tanyaku setengah protes. “Umat di paroki kita kan banyak, jadi tugas
susternya juga banyak,” jawab Nenekku dengan sabar.
“Ah pasti mereka malas-malas aja”
“Hush, gak boleh kayak gitu, Aci!”
“Besok kalau sudah gedhe, Aci mau jadi
suster, biar setiap hari bisa mendoakan dan mengantar hosti untuk nenek.”
“Loh kalau Aci sudah jadi suster,
memangnya nenek masih hidup?”
“Masih lah Nek! Aku mau jadi suster yang
ramah, rajin, pinter, cantik, suka menolong. Terus kalau jadi suster kan bisa
pergi kemana-mana. Hahahaa…..” kataku sambil tertawa.
“Bener ya, Ci? Tapi kalau jadi suster
itu juga harus bisa mengajar, harus sabar sama anak-anak, harus bisa masak
juga. Aci bisa kah?”
“Bisaaaa semuaaaa lah, Nek! Aku pandai
memasak, nyuci piring, ngepel lantai, aku juga suka main sama anak2 bayi,”
kataku mantab.
“Aminn. Ini hari Minggu ya Ci, harinya
Tuhan, jadi semua kata-katamu pada hari ini adalah doamu. Semoga terkabul ya,
Ci,” kata Nenekku sambil mengurut kembali kakinya.
***
Dua
bulan telah berlalu. Nenek belum sembuh juga, malah semakin parah. Dan, pada
akhirnya nenekku meninggal. Selama hampir dua bulan itu tidak ada suster atau
prodiakon yang mengantar komuni untuk nenek. Mereka sibuk, ya mungkin sibuk.
Entahlah aku tidak tahu, tapi yang kutahu adalah waktu itu aku emosi, marah,
benci,kenapa hanya mendoakan dan mengantar komuni untuk orang sakit saja tidak
bisa?? Sekali pun tidak sempat? Setelah kepergian nenekku, sempat aku malas ke
gereja. Tapi bapak ibu ku menasaehati ku macam-macam, dan akhirnya aku mau
kembali ke gereja. Bahkan aku menjadi cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan
gereja. Aku ikut menjadi misdinar (sampai kuliah aku masih tugas misdinar),
ikut OMK, dan ikut menjadi pendamping PIA. Hingga akhirnya, selesai kuliah,
keinginan dan doaku waktu kecil muncul lagi. Awalnya bapak dan ibu keberatan,
maklum lah, aku anak bungsu dari 3 bersaudara. Tapi, pada akhirnya bapak ibu
merestui niat ku itu dengan satu wejangan “Jadi lah suster yang baik, tapi
hanya baik pun tidak cukup! Bertanggung jawablah pada pilihan dan panggilan
hidupmu!”
***
“Hayoo
suster jangan melamun!”
“Suster…ayo
berangkat ke Gereja”
“Susterrr….”
Tiba-tiba
sapaan anak-anak SD dan beberapa anak asrama yang hendak ke Gereja membuyarkan
semua lamunanku, kegelisahan, kebimbanganku, dan kegalauanku.
“Iyaa…duluan
aja sana!” jawabku sambil tersenyum.
Diluar
sana matahari semakin terik, nenek dan gadis kecil tadi sudah tidak terlihat.
Mungkin mereka sudah sampai di Gereja, atau pulang ke rumah? Entahlah, aku
tidak tahu, tapi hati kecilku mengatakan bahwa nanti aku harus menjenguk nenek
itu. Aku percaya ini memang jalanku dan dari awal ini memang pilihanku. Mungkin
aku hanya capek saja, iya, semoga aku hanya capek saja!
Jam
di dinding menunjukkkan pukul 07.30. Ahh…seharusnya aku sudah siap-siap untuk
misa yang kedua. “Tuhan, kuatkan dan teguhkan imanku dalam menjalani panggilan
ini. Aku yang memilih jalan ini, sampai detik ini Engkau merestuinya, aku akan
berjuang dan aku yakin Engkau memberkati segala perjunganku ini. Tambahlah
bumbu-bumbu yang pantas bagiku agar panggilanku ini tidak menjadi hambar,
Tuhan. Terimakasih, Tuhan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar